Rabu, 07 Desember 2011

TAK BERNYAWA

TAK BERNYAWA
Fath WS

Pagi menggigil
gelap menyekat
air bercucuran
Bahasi kelambu pilu

Nanar
Saksikan raga tergolek lemah
Cabikan-cabikan tinggalkan luka
Berbalur darah beku,
tersemai titik membiru,

Belulang  nyaris kentara
Serat-serat pun rantas
Tertebas cakaran-cakaran biadab
Tanpa iba

Pasi,
Hilanglah rasa
Musnahlah daya
Bagai jasad tak bernyawa
Menanti waktu menuju pusara.

Lembah Tidar, 8 Desember 2011

Minggu, 04 Desember 2011

Balada Sebuah Pohon


BALADA  SEBUAH  POHON
Fath WS

Aku  pohon terantuk kemarau,
akar kehabisan akal susuri bumi yang
kian tenggelam menahan sakit.

Rantingku rapuh
 tak mampu menyangga dedauan
yang setia bergelantungan menari,
mengikuti irama angin yang kini menggigilkan kalbu.

Aku pohon terantuk kemarau,
Kini kehilangan rasa, menanti ajal tiba.


Yogya-Magelang, 27 Agustus 2011

Sajak Maya : Aku adalah Debu


AKU ADALAH DEBU

Aku adalah debu,
Aku debu yang entah menyejukkan,
 entah memburamkan kalbu.
Kau adalah kapas bagiku,
Jatuh dari langit, putih menyilaukan.

Aku adalah debu, entah apa yang dapat
Kutorehkan pada kapas itu,
Tapi debuku adalah debu suci,
tak terberai desir angin,
tak menggumpal siraman hujan,
aku adalah debu yang menyelimuti kaki hingga rambutmu.
Aku adalah debu yang menempel di kulitmu,
Dan
Aku adalah debu yang mengisi pori kulitmu.

Sajak Maya : September 2011




Cerpen Fath WS : Senyum Yang Tertunda


SENYUM YANG TERTUNDA
Karya : Fath WS

Semalam tak seperti malam-malam sebelumnya, Syifa bisa menikmati istirahat malam dengan tenang, seluruh urusan telah usai. Acara pertemuan keluarga yang baru akan diselenggarakan pertama kalinya itu sangat menyita energi dan waktunya. Sebagai pemrakarsa, Syifa dengan segenap kemampuannya dan dukungan keluarga besarnya, menjadi merasa miris, kebiasaan untuk selalu perfect yang tidak bisa diterima dengan mudah oleh saudara-saudaranya menimbulkan ketegangan luar biasa.
Jam 3 dini hari ,  Syifa sudah tak bisa memejamkan mata, dia mulai gelisah, lalu dia memutuskan menenangkan diri dengan mengambil air wudhu lalu bergegas melaksanakan sholat malam, dalam doanya dia meminta dengan nada lirih dan dalam," Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk menyelenggarakan acara  silaturahim ini dengan baik, mengikhlaskan segala hal yang kami perbuat", haru dan bangga menyelinap dalam hati Syifa saat itu.

Jam 06.00 tepat Syifa sudah siap mengecek kembali seluruh persiapan, di sana tampak saudara-saudaranya juga telah standby dengan tugasnya masing-masing. Waktu terus berlari tak ayal membuat Syifa kian risau, catering sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan, bahkan ketika Keysha melaporkannya, Wajah Syifa sedikit memerah, "udahlah atur bagaimana caranya, ambil sikap yang penting beres", Keysha pun beringsut mundur, paham kakaknya tak berkenan.
Jam 8.50 segalanya telah beres, tamu pun mulai berdatangan, Syifa memberi isyarat kepada mas Budi untuk segera melantunkan beberapa lagu pembuka agar suasana meriah. Yang pertama hadir keluarga om Darto yang tinggal di Secang, lalu keluarga om Pandi yang tinggal di Wonosobo, diikuti keluarga Kranggan Temanggung, Bantul, Salatiga, Semarang, Solo, tepat jam 9 hampir semua keluarga telah datang, tinggal menunggu keluarga dari Purworejo, keluarga bude Margo. Syifa mondar-mandir memastikan apakah semua beres, melalui pembawa acara  disampaikan agar hadirin bersabar sejenak, menanti keluarga bude Margo, sebagai keluarga tertua.

Saat melintasi para tamu, Syifa sedikit terperanjat namanya dipanggil seseorang dengan nada suaranya yang sangat akrab, spontan Syifa menoleh dan bersapa, ternyata Rama, saudara dan teman sebayanya Rama adalah teman sekolahnya sejak SD hingga SMP. Syifa dan Rama sudah seperti keluarga walau tidak bertalian darah, Kakek Rama merupakan Saudara angkat Nenek Syifa.
Setibanya keluarga bude Margo, acara dimulai yang diawali dengan panyampaian maksud dan tujuan yang disampaikan oleh Ayah Syifa, dilanjutkan yang tentunya sebelumnya telah dilantunkan gema wahyu Illahi.
Tausiyah oleh Ustad Bakir yang menguraikan arti penting Silturahmi merupakan acara yang dimaksudkan untuk memotivasi seluruh keluarga agar ikhlas menyambung Silaturahim.
Penunjukan Sesepuh Paguyuban disepakati, Ketua Pauyuban dan pengurus harian serta seksi-seksi. Acara bebas, dimanfaatkan untuk saling bercerita sambil menyantap hidangan, tak ketinggalan mas Budi sebagai pemain organ tunggal memainkan tuts organ dengan cekatan, penyanyinyapun melantunkan tembang kenangan dengan suara merdu mendayu.

Lagu-lagu Letto mulai mengalun, kali ini Sebelum Cahaya, Syifa manggut-manggut mendengarkan lagu itu, terkadang matanya memejam rapat, hatinya nyeri, seperti tertikam, lalu menghela nafas panjang, ada kenangan yang membuatnya seperti itu. Tak disadari Rama sejak tadi memperhatikannya.
Begitu lagu itu selesai, sorak sorai membahana. tepukan tangan yang riuh tak sedikitpun mampu membuat Syifa tersenyum, dia makin kikuk dan tersipu  ketika menyadari Rama tersenyum dan pandangan matanya mengarah padanya.

Dalam sekejap, tanpa Syifa sadari Rama telah mengambil tempat duduk disebelahnya, Syifa tetap pada posisi duduknya dengan wajah terkonsentrasi pada Rama. Dengan sorot mata lembut, Rama menyapa,"Syifa, itu lagumu kan?"
Syifa tergagap "gak!" spontan menangkis.
Rama bertanya lagi dan tatapan mata lembut, seakan tidak puas jawaban Syifa Dengan suara, "yang benerrr?".
Dengan malu Syifa jelaskan, "Itu request kawan, bukan aku", tak puas dengan jawaban itu Rama terus menyelidik,"tapi juga lagu mu kan?". Syifa tak bisa mengelak maupun mengiyakan, perasaannya yang tadi terajam kini menjadi galau.
Melihat sikap dan tingkah laku Syifa  Rama memberodong beberapa pertanyaan dengan tak memberi kesempatan kepada Syifa untuk berpikir panjang,"kau ingat surat yang kau berikan padaku?" Syifa menggeleng.
Pertanyaan berikutnya "kau ingat kita ngomong-ngomong di belakang sekolah, di atas vespa?" Syifa mengangguk sedikit ingat, lalu pertanyaan berikutnya lagi,"kau ingat puisikan namaku dan cerita tentang kedongsongo," Syifa mengangguk, suaranya tercekat gak bisa berkata apapun kecuali hanya mengangguk. Lalu, Rama menjelaskan bahwa setelah membaca puisi itu dia baru sadar akan perasaan Syifa yang sebenarnya.
Mendengar penjelasan Rama sontak mata Syifa berkaca-kaca, cepat-cepat Rama mengambil sapu tangan dan disodorkan pada Syifa sambil berkata dengan lembut dan lirih, hampir tak terdengar,"jangan menangis dilihat orang" dan Syifa hanya bisa mengangguk sambil menghapus air matanya yang hampir tumpah.
Rama kembali menjelaskan juga bahwa  hubungan dia dengan Esti tak seperti yang  Syifa duga  dan diketahui khalayak, tak seperti yang tampak. Rama bilang bahwa sebenarnya sejak awal SMP dia telah mempunyai perasaan sayang dan mencintai Syifa dan berjanji suatu ketika akan menjelaskannya secara detail.
Syifa terperanjat kaget, dalam batinnya bertanya kenapa Rama tak pernah bilang, dengan kecut Syifa bilang,"aku tak tahu, aku merasa tertampik."
Masih dengan nada seperti sekian tahun yang lalu, Rama dengan lembut mengelak,"Syifa aku tidak menampik, tapi maaf aku tak bisa berbuat banyak, aku berhutang budi pada ayah Esti, aku diminta mendampinginya."
 "Berarti catatan sejarahku ada yang keliru, aku sekarang bisa tersenyum, senyum yang tertunda," kilah Syifa.

Takut peristiwa itu terbaca orang lain, Syifa pun beranjak pergi menemui pamannya, bulik dan budenya untuk menikmati hidangan, wlau pembawa acara pun telah mempersilahkan. Itu untuk sekedar cara agar Syifa terbebas dari tatapan Rama yang sesungguhnya membuat desir di dadanya semakin menjadi, membuat Syifa menjadi serba salah.
Begitu selesai Syifa dan menuju tempat duduknya, Syifa kaget melihat Rama sedang menyanyi, dan memberi isyarat untuk bergabung, namun Syifa tidak mengiyakan, Syifa langsung duduk di tempat duduk semula.
Syifa tidak mengerti lagu apa yang dinyanyikan Rama, yang dia dengar hanya kalimat "Tetaplah menjadi elang di langit... " ohhh lagu apa itu, Syifa sedikit kaget mendengar syair itu ada yang tidak  pas antara musik yang cukup akrab ditelinganya dengan syair yang terucap.
" Agar cinta kita tetap abadi...." nah ini baru nyambung batin Syifa. Bila Padi mendengar pasti jengkel, syairnya diganti tanpa ijin, pikirnya.
" Biarkan tatapanmu tajam... Menembus relung hatiku .... Agar tetap hatiku .....terjaga ....abadi ...." ohhh gila sekali syairnya diganti-ganti pikir Syifa.

Syifa masih termangu , tiba-tiba Rama menghampiri, tanpa diminta Rama menjelaskan, "Selalu aku ganti kata bintang dengan elang kalau aku karaokean."
Masih dengan kebingungannya, Syifa hanya bisa menatap Rama yang nerocos memberikan  penjelasan bahwa dia sengaja mengganti syair-syair itu, Elang adalah Syifa yang diharapkan selalu terbang menghiasi angkasa, biar selalu menatapnya tajam sampai ke relung batinnya. Rama juga menjelaskan dan meyakinkan Syifa bahwa hatinya hanya untuk Syifa, tak ada yang dapat menggantikan Syifa di hatinya.

Acara telah usai  Syifa dan Rama tak segera beranjak, sejenak keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Syifa merangkai kembali kisah perjala
nannya, demikian juga Rama. Terdiam, Syifa tak kuasa berkata lebih banyak apalagi dihujani tatapan Rama dan sesekali memanggil namanya dengan lembut. Dalam batin Syifa bergejolak antara rasa bahagia dan sejuta rasa yang tak dimengerti, mengapa harus hari ini semuanya terbuka, mengapa baru hari ini tabir teruangkap, kenapa kelindan baru berurai di saat seperti ini.
Sesekali mata Syifa terpejam rapatm menarik nafas panjang, batinnya bertanya kepada Tuhannya, “Ya Allah, mengapa yang telah kukubur rapat-rapat harus dibongkar lagi”. Rama terus memberikan penjelasan tentang perjalanannya, sejak mengapa akhir ujian SMP tak berusaha lagi menemui Syifa,  bagaimana dia berusaha selalu meng-update kabar Syifa, yang menurutnya Rama sangat ingin menemui Syifa secara langsung, namun tidak punya keberanian untuk itu.

Adzan Ashar telah berkumandang, para kerbata telah meninggalkan acara itu, mereka berdua beranjak, mengambil air wudhu dan sholat berjamah  bersama beberapa kerabat yang masih betah di sana. Usai sholat Rama mendekati Syifa dan mengatakan,”Kuharap Syifa mau memaafkan aku, kuharap silaturahmi kita tetap terjalin, tersenyumlah walau senyummu tertunda, tataplah ke depan dengan senyum”. Syifa hanya bisa mengangguk, Syifa berfikir tidak ada salahnya menyambung kembali silaturahmi ini, apalagi memutus silaturahmi adalah dosa. Namun pada hakekatnya Syifa tak pernah memutus silaturahmi, Syifa sellau menyanyakan keberadaan Rama melalui saudara-saudaranya, walau dengan rasa malu.

Syifa kembali terkejut, ketika Rama mengatakan, “ Syifa, mengapa kamu tidak marah, padahal aku tahu betapa aku telah menyakitimu”.
Dengan nada setengah tertahan, Syifa mengelak,” kenapa harus marah, aku tahu kok aku ini siapa dan tak ada yang perlu di marah, aku telah mengubur dalam dan memaafkan”.
Dengan nada berbinar Rama mengingatkan masa-masa sekolah dulu, “Ya sejak dulu kau bisa marah kepada siapapun, tapi denganku kau tak pernah bisa marah, walau aku salah, sehingga aku kadang mencoba membuat kau marah, tapi kau gak pernah marah, begitu kita beradu pandang, matamu selalu redup, dan gak pernah kuat beradu pandang denganku.”
“jantungku rontok tahu……………..!!,” elak Syifa setengah melengking, yang cukup mengagetkan siapapun yang ada di situ, Keysha pun menghampiri  sambil berlari kecil dan berteriak ,” ada apa mbak Syifa….!!,”
Rama dan Syifa tertawa terbahak-bahak, lalu mereka bergabung membereskan area pertemuan itu hingga usai. Semua sudah beres, Syifa segera mengambil tempat duduk yang paling nyaman, lalu dengan cekatan menggorekan penanya di block note kecil yang sellau berada di sakunya,:

SENYUM YANG TERTUNDA

Lorong itu tak bertuan, penuh senyum hampa,
Bercerita tentang perjalanan panjang melelahkan,
Bercerita tentang badai dan halilintar yang selalu menghadang,
Bercerita tentang jiwa yang menguliti malam.

Lorong itu tak bertuan, berhias senyum getir,
Bercerita tentang rasa yang tergadai,
Bercerita tentang rembulan sayu menjelang purnama,
Bercerita tentang gerimis Yang tak kunjung menjelang.

Lorong itu tak bertuan, tanpa batas,
Membungkam naluri, matikan rasa,
Mendera jiwa,  matikan iba,
Mematri luka, matikan asa.

Lorong itu menembus malam,
Tinggalkan kepekatan dalam terali kalbu,
Lorong itu menggapai pagi,
Tak seutas senyum pun menyapa,
semua tenggelam dalam ketidakpastian, penuh kegamangan.

Lorong itu menjelang senja,
ada  sapa tertahan dalam keriuhan,
ada asa beku, gigilkan jiwa sunyi.

Senja itu, menyapa malu ,
Membawasepotong  sajak dalam genggaman semu,
Terbata membaca kalbu, seutas senyumpun mengembang,
Senyum yang tertunda.

Lembah tidar dalam dialog kalbu.


Setelah selesai, segera disodorkan pada Rama, lalu secepat kilat Rama membacanya, Syifa menanti dengan cemas, selesai membaca Rama mengembalikan block note itu kepada Syifa dan berkata dengan nada berat,”sekali lagi maafkan aku“ Syifa mengangguk sambil menjulurkan tangan untuk berjabat dan mereka berjabat erat seakan tak ingin berpisah lagi.

Senja pun menghampiri, lembayung, indah sekali…seindah hati mereka, yang bercahaya.

Lembah Tidar, 13 Nopember 2011